Siapa
yang tak kenal lagu ini lirik hymne guru berjudul “Pahlawan Tanpa Tanda
Jasa“? Masih terngiang betapa di era 1980-an, lagu ini sangat sering
dinyanyikan di sekolah-sekolah. Sebab setiap upacara bendera pada hari
Senin, lagu ini selalu dinyanyikan.
Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang
disematkan kepada para guru. Siapa sangka bila “sang pahlawan” yang
tanpa tanda jasa itu sejatinya dialami si pencipta lagu tersebut. Ya,
Sartono, pencipta lagu yang juga guru itu di masa senjanya hidup dalam
kesederhanaan. Laki- laki asal Madiun yang genap berusia 72 tahun, 29
Mei ini, tinggal rumah sederhana di Jalan Halmahera 98, Madiun. Sejak ia
mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada 1978, hingga
“pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak
punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kawan-kawan sesama guru sempat membantu mengajukan dia menjadi PNS.
“Katanya sih sering diajukan nama saya, tetapi sampai saya pensiun dari
tugas sebagai guru, PNS untuk saya kok tidak datang juga,” kata
Sartono.
Sartono memang minder dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat
SMA. Ia mengajar di SMP Purna Karya Bhakti, yang belakangan lebih
dikenal sebagai SMP Kristen Santo Bernadus, berbekal bakatnya di bidang
musik. Sartono yang beragama Islam itu melamar di Santo Bernadus
berbekal sertifikat pengalaman kerja di Lokananta, perusahan pembuat
piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.
Hidup serba dalam kesempitan, tak membuat Sartono meratapi nasib. Ia
merasa terhibur, dengan kebersamaan dengan Damiyati, BA, 59 tahun,
isterinya yang guru PNS. Damiyati dinikahi Sartono pada 1971. Dari
pernikahan mereka belum jua dikaruniai anak. Sehingga mereka mengasuh
dua orang keponakan. Damiyati yang juga guru, juga seniman biasa
manggung bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, di masa mudanya.
Kehidupan sehari-harinya kini hanya dari pensiun istrinya yang tak lebih
dari dari Rp 1 juta. Sartono sendiri kala masih aktif mengajar,
gajinya pada akhir pengabdiannya sebagai guru seni musik cuma Rp 60.000
per bulan. “Gaji saya sangat rendah, bahkan mungkin paling rendah
diantara guru-guru lainnya,” katanya mengenang masa lalunya
Kala masih kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.
Kala masih kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.
Jalan menjadi guru berawal
dari kegemarannya bermain musik. Putra sulung dari lima bersaudara ini
sebenarnya lahir dari keluarga cukup berada. Maklum, ayahnya R.
Soepadi adalah Camat Lorog, Pacitan. Sartono kecil memang suka bermain
musik secara otodidak. Namun, hidup nyaman tak bisa dirasakan
berlama-lama. Ketika ia berusia 7 tahun, Jepang menduduki Indonesia.
Ayahnya pun tak lagi menjabat camat.
Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono dan Sarsanti, tak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya. Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. “Saya Lupa tahun berapa itu, tapi saya hanya bekerja selama dua tahun saja,” kata Sartono, yang mengaku sudah susah mengingat tahun.
Selepas kerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU di Madiun. Ia bersama kelompok musik tentara itu pernah penghibur tentara di Irian. “Di sana selama tiga bulan,” jelasnya.
Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono dan Sarsanti, tak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya. Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. “Saya Lupa tahun berapa itu, tapi saya hanya bekerja selama dua tahun saja,” kata Sartono, yang mengaku sudah susah mengingat tahun.
Selepas kerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU di Madiun. Ia bersama kelompok musik tentara itu pernah penghibur tentara di Irian. “Di sana selama tiga bulan,” jelasnya.
Ihwal penciptaan lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bis menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik koran, mengenai sayembara penciptaan lagu himne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000. Waktu yang tersisa dua pekan, untuk merampungkan lagu.
Sartono yang tak bisa membaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang lagu saban harinya. “Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono sambil memulai membuat lagu itu.
Waktu sudah mepet, lagu belum juga jadi. Sartono pusing bukan kepalang. Syairnya masih amburadul. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan dua keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan sanak famili. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat lagu dan syair secara serius,” katanya. “Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis syairnya.”
Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahal, durasi lagu tak lebih dari empat menit. Sartono pun berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena panjang sekali, maka saya harus membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”
“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara,” katanya.
Persoalan tak begitu saja beres. Lagu ada, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia lomba di Jakarta. Sebab ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya menjual jas untuk biaya pos,” katanya. Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampainya di Madiun saya tukarkan dengan sepeda motor di salah satu dealer,” kata Sartono.
Lagunya melambung, Sartono
tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru
honorer hingga “pensiun.” Kalaulah ada penghargaan selain hadiah
mencipta lagu, “cuma” beberapa lembar piagam ucapan terimakasih. Nampak
piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan
pada 2005. Pak Gubernur juga memberikan bantuan Rp 600.000, plus sebuah
keyboard.
Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000. Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono.
Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.
Meski minim perhatian, Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000. Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono.
Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.
Meski minim perhatian, Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa.