Borobudur diterlantarkan
Borobudur
tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah
dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga
Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab
Borobudur ditinggalkan hingga kini masih misteri. Tidak diketahui secara pasti
sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada
kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke
kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan
apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi
beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada
periode ini. Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar
tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada
masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur".
Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini
mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada
Islam pada abad ke-15
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng
rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah
yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan
penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk
yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa),
monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak
kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa
bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan
dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen
ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan
Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757. Meskipun terdapat tabu
yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang
dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang
terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang
Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan
Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai
tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan
dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang
mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin
setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah
menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan Kembali
Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873)
setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi.
Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama
memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau
Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816.
Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki
minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik
kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa
yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam
perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814,
ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa
Bumisegoro.Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia
tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C.
Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan
besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan
dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah
yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan
membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk
menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya
menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali
monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah
hilang ini.
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di
Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh
bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas
kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha
besar di stupa utama Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun
apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang
insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan
menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan
penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859.
Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang
dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja
sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans,
yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada
1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan,
dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.
Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore
van Kinsbergen.
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang
cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi
pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca
Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca
buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh
pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan
arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran
kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala
inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan
reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil,
ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen. Akibatnya, pemerintah
menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh
atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya
menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini
dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan. Pada tahun 1896, beberapa
patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa
batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dihadiahkan kepada Raja Thailand,
Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) sebagai hadiah
dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
sumber : wikipedia, indonesiaindonesia.com