Rabu, 18 Agustus 2010

Sejarah Penciptaan Lambang "Garuda Pancasila"

Info : Sejarah Penciptaan Lambang "Garuda Pancasila" , Perancang Lambang Negara
 
Sejarah Penciptaan Lambang "Garuda Pancasila"

Sultan Hamid II, Perancang Lambang Negara



Sepanjang orang Indonesia, siapa tak kenal burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila)? Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu?

Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab --walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalbar dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA.

Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.

Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".

Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1940, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak.

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Proklamasi 15 Agustus atau 17 Agustus 1945


Info : Proklamasi 15 Agustus atau 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tags : Proklamasi 15 Agustus atau 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia



Berawal dari Peristiwa Rengasdengklok

Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Dengan menyerahnya Jepang berarti situasi telah berubah, Jepang tidak lagi memerintah Indonesia tetapi hanya berfungsi sebagai penjaga “status quo” yakni menjaga situasi dan kondisi seperti pada masa perang dan melarang adanya perubahan-perubahan di Indonesia. Kemerdekaan tidak mungkin bisa didapat dari Jepang. Oleh karena itu pada tanggal 15 Agustus 1945 itu juga para pemuda dipimpin Chaerul Saleh mengadakan rapat di ruang Laboratorium Mikrologi di Pegangsaan Timur untuk membicarakan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan tanpa bantuan Jepang.



Dalam rapat tersebut menhasilkan keputusan bahwa :
  • Mendesak Bung Karno dan Bung Hatta agar melepaskan ikatannya dengan Jepang dan harus bermusyawarah dengan pemuda.
  • Mendesak Bung Karno dan Bung Hatta agar dengan atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia malam itu juga atau paling lambat 16 Agustus 1945.

Keputusan rapat pemuda tersebut disampaikan oleh Darwis dan Wikana kepada Bung Karno dan Bung Hatta di rumah kediamannya masing-masing. Akan tetapi Bung Karno dan Bung Hatta menolak dengan alasan bahwa beliau tidak akan memproklamirkan kemerdekaan tanpa perantara PPKI, sebab PPKI merupakan wakil-wakil bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke, sedang golongan pemuda beranggapan bahwa PPKI merupakan butan Jepang.



Karena tidak ada kata sepakat, hari itu juga (15 Agustus 1945) dini hari di asrama Baperpi (Kebun Binatang Cikini) golongan pemuda mengadakan rapat kembali dan mereka sepakat untuk menjauhkan Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang ke luar kota. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 Sukarni, Yusuf Kunto, dan Singgih membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok (Kabupaten Karawang) yaitu tempat kedudukan sebuah Cudan (Kompi) PETA yang dikomandani Cudanco Subeno.

Disana teks proklamasi milik syahrir dikumandangkan Soekarno

Sayangnya teks proklamasi versi syahrir hilang dan tidak ditemukan sampai saat ini. 
Menurut saksi sejarah teks itu hanya berisi kami bangsa indonesia tidak mau menjadi alat investasi negara satu dan negara lain...




Pindah ke Cirebon
Begitu Jepang kalah perang, Sjahrir ingin kemerdekaan Indonesia dikumandangkan secepatnya. Proklamasi Cirebon dibacakan lebih cepat.


TUGU berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil itu berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun Kejaksan, Cirebon. Tugu yang sama, dengan tinggi sekitar tiga meter, menancap di halaman Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama.


Tak banyak warga Cirebon tahu dua tugu tersebut merupakan saksi sejarah. Di tugu itu, pada 15 Agustus 1945, dokter Soedarsono membacakan teks proklamasi. ”Hanya para sesepuh yang mengingat itu sebagai tugu peringatan proklamasi 15 Agustus,” tutur Mondy Sukerman, salah satu warga Cirebon yang aktif dalam Badan Pekerja Pengaktifan Kembali Partai Sosialis Indonesia. Kakek Mondy, Sukanda, aktivis Partai Sosialis Indonesia, hadir saat proklamasi ini dibacakan di kota udang itu.


Saat Soedarsono membacakan teks proklamasi, sekitar 150 orang memenuhi alun-alun Kejaksan. Sebagian besar anggota Partai Nasional Indonesia Pendidikan. Cirebon memang merupakan salah satu basis PNI Pendidikan.


Soedarsono sendiri adalah tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon. Setelah siaran radio BBC pada 14 Agustus 1945 mewartakan kekalahan Jepang oleh Sekutu, Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan Tanah Air secepatnya. Sjahrir menunggu Bung Karno dan Bung Hatta untuk menandatangani teks proklamasi sebelum 15 Agustus 1945. Sjahrir khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian dari diskusi pertemuan antara Soekarno, Hatta, dan Marsekal Terauchi di Saigon. Ternyata harapannya tidak tercapai.


Ada dua versi asal-usul penyusunan teks proklamasi versi Cirebon. Menurut Maroeto Nitimihardjo, lewat kesaksian anaknya, Hadidjojo Nitimihardjo, Soedarsono tak pernah menerima teks proklamasi yang disusun Sjahrir. Maroeto adalah salah satu pendiri PNI Pendidikan.


Informasi diperoleh Maroeto ketika bertemu dengan Soedarsono di Desa Parapatan, sebelah barat Palimanan, saat mengungsikan keluarganya selang satu hari sebelum teks dibacakan di Cirebon. Soedarsono mengira Maroeto membawakan teks proklamasi dari Sjahrir.


”Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir, saya akan membuat proklamasi di Cirebon,” ungkap Hadidjojo dalam buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan, yang pekan-pekan ini akan diterbitkan. Sayang, jejak teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono tak berbekas. Tak ada yang memiliki dokumennya.


Kisah berseberangan diungkap Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Menurut Des, teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya.


Penyusunan teks proklamasi ini, antara lain, melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu Bakar Lubis. Penyusunan teks dikerjakan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta, pada 13 Agustus. Asrama Prapatan kala itu sering dijadikan tempat nongkrong para anggota gerakan bawah tanah.


Des hanya mengingat sebaris teks proklamasi versi kelompok gerakan bawah tanah: ”Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga.”


Dalam buku Rudolf Mrazek berjudul Sjahrir, Sjahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda. ”Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain,” kata Sjahrir seperti ditulis dalam buku Mrazek. Sjahrir pun mengatakan kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.


Selain mempersiapkan proklamasi, Sjahrir dengan semangat tinggi mengerahkan massa menyebarkan ”virus” proklamasi. Stasiun Gambir dijadikan arena untuk berdemonstrasi. Stasiun radio dan kantor polisi militer pun sempat akan diduduki. Kala itu, Des dan sekelompok mahasiswa bergerak hendak membajak stasiun radio Hoosoo Kyoku di Gambir agar teks proklamasi tersebar. Usaha tersebut gagal karena Kenpeitai menjaga rapat stasiun radio tersebut.


Tapi simpul-simpul gerakan bawah tanah terus bergerak cepat, menderu-deru dari satu kota ke kota lain, menyampaikan pesan Sjahrir. Dan keinginan Sjahrir agar proklamasi Indonesia segera didengungkan itu pun sampai di Cirebon.
Next previous home